27 Maret, 2009

Kesetaraan Gender

Kesetaraan gender sudah menjadi wacana publik, terutama menyangkut hak, status dan kedudukan perempuan di sektor domestik dan publik. Persoalan kesetaraan gender bukanlah monopoli Indonesia, bahkan negara modern seperti AS juga baru tahun 70-an memberikan perhatian terhadap persamaan hak kaum perempuan. Masalah diskriminasi juga masih tetap muncul hingga sekarang.
Meskipun masalah kesetaraan gender sudah mendapat perhatian yang luas, dalam realitas empiris banyak perempuan masih mengalami diskriminasi. Oleh karena itu, penyelesaian terhadap masalah ini harus terus dilakukan, baik melalui diseminasi maupun sosialisasi.Sosialisasi dan diseminasi sangat penting untuk dilakukan, sebab tantangan yang dihadapi oleh perempuan tidak hanya dari perspektif agama, tetapi juga budaya. Dalam budaya tertentu, perempuan menempati posisi yang rendah dalam masyarakat. Demikian pula pemahaman yang sempit tentang ajaran agama, juga menempatkan kedudukan perempuan tidak setara dengan kaum pria.


Dalam Islam misalnya, po-sisi perempuan sama dengan laki-laki, bahkan penghormatan terhadap perempuan tiga kali lipat dari penghormatan terhadap laki-laki. Meskipun de-mikian, pengaruh badaya dari para pemimpin Islam di zaman dahulu (kekhalifahan) kadang-kala menempatkan perempuan tidak setara dengan kaum pria.
Dogmatisme terjadi biasanya didorong oleh kepentingan pragmatis dan didorong oleh kepentingan memanfaatkan berbagai sumber (teks doktrin) untuk mencapai tujuan politik. Misalnya, sejak zaman Nabi hingga era sahabat, kedudukan wanita sangat tinggi, bahkan perempuan bisa menjadi pemimpin. Tetapi setelah abad pertengahan hijriah, kedudukan wanita semakin menurun. Hal itu terjadi karena adanya kepentingan politik untuk mensubordinasi perempuan dalam wilayah publik.
Dua orang feminis, Kamla dan Nighat Said Khan, mengemukakan, bahwa perempuan tertindas dalam banyak hal. Sebagian mereka bahkan mengalami langsung penindasan terhadap dirinya mungkin oleh tradisi yang mengutamakan lelaki mungkin pula oleh pandangan bahwa perempuan sebagai objek seks.
Demikian halnya dengan konstruksi budaya kita yang masih bersifat patriarkhi. Disadari atau tidak, dalam suatu kondisi tertentu perempuan dipandang sebagai warga negara ”kelas dua”. Dalam ma-syarakat Jawa, misalnya, perempuan seringkali digambarkan sebagai ”konco wingking” (teman belakang). Artinya pe-rempuan hanya ikut laki-laki (suami) sehingga tidak memiliki otoritas yang otonom.
Pandangan yang male chauvinistic ini belum sepenuhnya sirna dan sangat berpengaruh terhadap kondisi, hak dan kedudukan perempuan. Kultur patriarkhi ini secara nyata turut mengambat proses perjuangan kesetaraan gender di tengah kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, sebagian besar teks yang dijadikan dasar pembenaran gagasan rendahnya derajat perempuan dipengaruhi oleh waktu dan tempat pembuatannya. Faktor tradisi inilah yang membuat diskriminasi terhadap peran kaum perempuan terus berjalan. Kondisi ini kemudian seringkali memunculkan ketegangan antara doktrin dan adat kebiasaan.
Banyak ahli fiqh yang menentang pendapat bahwa kelebihan laki-laki bersumber dari ajaran-ajaran Islam. Qur’an justru berisi ajaran egalitarianisme dan menegaskan adanya kesederajatan antara laki-laki dan perempuan. Yang membedakan di antara keduanya hanyalah ketakwaannya kepada Allah.

Keadilan Gender
Berbeda dengan pandangan kaum feminis Barat, kesetaraan gender dalam budaya tertentu seperti di Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya dan agama, biasanya mempertimbangkan perbedaan aspek biologis dan psikologis. Kesetaraan gender lebih mengarah kepada keadilan gender, bukan persamaan yang mengarah kepada penyeragaman.
Secara garis besar, setidaknya berkembang dua pemikiran dari para feminis di Indonesia dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Pertama, pendekatan sosiologis yang diimplementasikan dalam upaya menangkap praktik-praktik diskriminasi gender yang berlaku dalam masyarakat. Munculnya diskriminasi terhadap perempuan biasanya dipengaruhi oleh keadaan dan adat istiadat masyarakat setempat, baik sosial maupun ekonomi termasuk untuk tujuan politik.
Sungguhpun norma-norma masyarakat kita telah mendasari penyadaran integratif tentang eksistensi perempuan dalam beberapa hal sebagai mitra sejajar laki-laki, namun realitas empiris dari berbagai kalangan dan bidang justru menampilkan pemandangan yang kontradiktif. Pemasungan hak-hak wanita dalam berbagai sektor kehidupan masih banyak terjadi.
Kedua, pendekatan teologis dengan melakukan reinterpretasi dan kritik terhadap teks-teks doktrinal. Menurut Riffat Hassan, kerendahan martabat wanita disebabkan oleh faktor teologis yang mendasari pola pikir sebagian umat. Artinya, perempuan yang memiliki derajat tinggi dalam agama (Islam) itu dipahami sebagai manusia yang diciptakan oleh Allah sebagai subordinat dan untuk kepentingan laki-laki.
Sisi penting lain dalam upaya mewujudkan kesetaraan gender adalah dengan melakukan dekonstruksi kultural yang bersifat patriarkhat. Adapun pelaksanaannya bisa dimulai dari lingkup yang paling kecil yaitu keluarga. Melalui keluarga inilah kita dapat membentuk sikap kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan. Komitmen terhadap proses kesetaraan gender kemudian diperluas melalui kehidupan bernegara. Pemerintah sebagai penyelenggara negara memberikan perlindungan, perlakuan dan kesempatan yang sama antara kaum laki-laki dan perempuan.
Selain itu melakukan dekonstruksi terhadap teks-teks dokrin yang selama ini menjadi legitimasi untuk melestarikan budaya patriarkhi. Simbol-simbol agama yang digunakan dalam politik, terutama untuk meneguhkan diskriminasi gender harus dikritisi sehingga tidak menimbulkan kejumudan.

Penulis adalah Sekretaris Umum
PMII Kabupaten Kapuas 2009



0 komentar:

Posting Komentar